Senin, 31 Desember 2012

PENCEMARAN AKIBAT LIMBAH PETERNAKAN DAN PENANGANANNYA



I. PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Usaha peternakan mempunyai prospek untuk dikembangkan karena tingginya permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat di perdesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi, maka pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga kenyamanan permukiman masyarakatnya. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan memanfaatkan limbah peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut.

Kebijakan otonomi daerah perlu diantisipasi oleh aparat pemerintah daerah, khususnya di kabupaten/kota yang menjadi ujung tombak pembangunan, sehingga kabupaten/kota dapat berbenah diri dalam menggali segala potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Dengan demikian potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Kebanyakan masyarakat yang berada di pedesaan semuanya menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian secara luas kerena memang itulah keahlian mereka yang dapat digunakan untuk mempertahankan kehidupannya. Tidak heran seorang petani selain mengolah sawahnya, mereka juga memelihara ternak misalnya ternak bebek, ayam kampung atau yang sering dikenal ayam buras, ada juga yang memelihara domba, kambing, sapi ataupun kerbau.

Dilain pihak krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua, dimana betapa rapuhnya pondasi perekonomian yang tidak dilandasi oleh potensi sumber daya lokal.

Sejauh ini kebijakan pemerintah yang lebih berorentasi pada sistem pertanian konvensional di mana banyak mengandalkan input produksi seperti pupuk organik ataupun pestisida dalam jumlah tinggi untuk memacu target produksi. Dalam kenyataan hal tersebut justru telah memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lahan pertanian yang ada sehingga lambat laun akan menurunkan produktivitas pertanian dan akibatnya akan berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pada kenyataannya sektor pertanian ternyata telah mampu menunjukan ketangguhannya dalam mengahadapi badai krisis.

Negara kita adalah negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor pertanian, namun rata-rata kepemilikan penduduk atas lahan pertanian kurang dari 0,3 hektar, terutama di pulau Jawa. Dari kondisi kepemilikan lahan yang sempit ditambah dengan sistem pertanian yang masih mengandalkan input produksi tinggi menyebabkan petani berada dalam lingkaran kemiskinan yang tiada putus-putusnya. Petani dengan pendapatan rendah tidak akan mampu menabung, meningkatkan pendidikan dan keterampilan apalagi meningkatkan investasinya guna meningkatkan produksi.

Dalam keterbatasan yang dilematis tersebut diperlukan jalan keluar yang bijaksana dengan membangun paradigma baru, yaitu sistem pertanian yang berwawasan ekologis, ekonomis dan berkesinambungan, ini sering juga disebut sustainable mix farming atau mix farming.

Sistem mix-Farming, ini diarahkan pada upaya memperpanjang siklus biologis dengan mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping pertanian dan peternakan atau hasil ikutannya, dimana setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dengan sistem ini diharapkan pemberdayaan dan pemanfaatan lahan marginal di seluruh daerah (kabupaten/kota) dapat lebih dioptimalkan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam hal kecukupan pangan dengan cara mengembangkan sistem pertanian yang terintegrasi misalnya tanaman pangan pakan dan ternak, juga dapat memanfaatkan hasil samping atau hasil ikutan peternakan seperti kompos (manure), dimana dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik dan limbah pertaniannya dapat dipakai sebagai pakan ternak.

Sehubungan hal tersebut di atas konsep pertanian masa depan harus dirumuskan secara komprehenship, dimana dapat mengantisipasi berbagai tantangan, seperti pasar global dan otonomi daerah, salah satu model yang dapat mengantisipasi tantangan pasar global adalah pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan (sustainable mixed –farming) dengan berbagai industri peternakan. Bagi masyarakat pedesaan ternak-ternak seperti kerbau, sapi potong, sapi perah, kambing, domba, itik, bebek ataupun ayam buras memilki peranan strategis karena ternak-ternak tersebut dapat digunakan sebagai tabungan hidup, sumber tenaga kerja bagi ternak kerbau dan sapi potong. Ternak juga dapat dipakai sebagai penghasil pupuk organik dimana sangat baik untuk meningkatkan produksi pertanian, selain itu ternak juga dapat dijadikan dalam meningkatkan status sosial.

Dalam presfektif ekonomi makro, peternakan merupakan sumber pangan yang berkualitas, misalnya daging ataupun susu merupakan bahan baku industri pengolahan pangan, di mana dapat menghasilkan abon, dendeng, bakso, sosis, keju, mentega ataupun krim dan juga dapat menghasilkan kerajinan-kerajinan kulit tanduk ataupun tulang. Jadi dari semua kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian dan peternakan dapat menciptakan lapangan kerja. Pembangunan pertanian dalam konteks otonomi daerah yang disesuaikan dengan permintaan pasar global sehingga pengembangan sistem pertanian terpadu sangatlah menjanjikan, meskipun tetap harus memperhatikan aspek agro ekosistem wilayah dan sosio kultur masyarakatnya (Sofyadi, 2005).

Selama ini banyak keluhan masyarakat akan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan karena sebagian besar peternak mengabaikan penanganan limbah dari usahanya, bahkan ada yang membuang limbah usahanya ke sungai, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Limbah peternakan yang dihasilkan oleh aktivitas peternakan seperti feces, urin, sisa pakan, serta air dari pembersihan ternak dan kandang menimbulkan pencemaran yang memicu protes dari warga sekitar. Baik berupa bau tidak enak yang menyengat, sampai keluhan gatal-gatal ketika mandi di sungai yang tercemar limbah peternakan.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang selama ini dianggap mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain berupa keuntungan ekonomis dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja karena tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga karena pengembangan peternakan mutlak memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga keberadaannya tidak menjadi masalah bagi masyarakat di sekitarnya.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah lebih jauh tentang pencemaran yang diakibatkan oleh limbah usaha peternakan serta upaya penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.

1.3. Metode Penulisan

Penulisan dilakukan secara diskriptif dengan mengambil bahan dari pustakan maupun dari sumber lain yang berkaitan dengan judul makalah.


II. LIMBAH TERNAK


2.1. Jenis Limbah Usaha Peternakan

Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.

Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas.

Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apppalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).

2.2. Dampak Limbah Peternakan

Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan berat badannya 5.000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air. Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 % merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat.

Kehadiran limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran yaitu dengan menimbulkan debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00, kandungan debu pada saat tersebut lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas yang dapat ditolelir untuk kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3)

Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).

Hasil penelitian dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung, Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, yang disebabkan oleh kandungan sulfida dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang membahayakan kesehatan manusia.

Tinja dan urine dari hewan yang tertular dapat sebagai sarana penularan penyakit, misalnya saja penyakit anthrax melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax dapat tersebar melalui darah atau daging yang belum dimasak yang mengandung spora. Kasus anthrax sporadik pernah terjadi di Bogor tahun 2001 dan juga pernah menyerang Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002).


III. PENANGANAN LIMBAH PETERNAKAN


Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).

3.1. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah

Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob.

Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).

3.2. Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik

Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai pupuk organik. Penggunaan pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah tersebut.

Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium sebagai unsur makro yang diperlukan tanaman, tersaji dalam tabel berikut.


Kadar N, P dan K dalam Pupuk Kandang dari Beberapa Jenis Ternak

JenisPupuk Kandang
                            Kandungan (%)
N
P2O5
K2O
Kotoran Sapi
Kotoran Kuda
Kotoran Kambing
Kotoran Ayam
Kotoran Itik
0.6
0.4
0.5
1.6
1.0
0.3
0.3
0.3
0.5
1.4
0.1
0.3
0.2
0.2
0.6

Sumber : Nurhasanah, Widodo, Asari, dan Rahmarestia, 2006


Kotoran ternak dapat juga dicampur dengan bahan organik lain untuk mempercepat proses pengomposan serta untuk meningkatkan kualitas kompos tersebut .

3.3. Pemanfaatan Untuk Gasbio

Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K .

Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3. Produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.

Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak.

Model pemroses gas bio yang banyak digunakan adalah model yang dikenal sebagai fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya yang lama dan daya tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya pembuatannya memerlukan biaya yang cukup besar.

Untuk mengatasi mahalnya pembangunan pemroses biogas dengan model feixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa Tengah bekerja sama dengan Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran mengembangkan model yang lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai, dan lebih murah karena berbahan plastic yang dipendam di dalam tanah.

Di perdesaan, gasbio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan memasak sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah ataupun listrik dan kayu bakar. Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang memadai, biogas juga dapat untuk menggerakkan mesin.

3.4. Pemanfaatan Lainnya

Selain dimanfaatkan untuk pupuk, bahan pakan, atau gasbio, kotoran ternak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan mengubahnya menjadi briket dan kemudian dijemur/dikeringkan. Briket ini telah dipraktekkan di India dan dapat mengurangi kebutuhan akan kayu bakar.

Pemanfaatan lain adalah penggunaan urin dari ternak untuk campuran dalam pembuatan pupuk cair maupun penggunaan lainnya.


IV. KESIMPULAN


1. Limbah usaha peternakan berpeluang mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Namun memperhatikan komposisinya, kotoran ternak masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, media pertumbuhan cacing, pupuk organik, gas bio, dan briket energi.

2. Pemanfaatan limbah ternak akan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah, maupun udara. Pemanfaatan tersebut juga menghasilkan nilai tambah yang bernilai ekonomis.


DAFTAR PUSTAKA


Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB, Bogor.

Sofyadi Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa Depan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.

Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor

Soehadji, 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk Mendukung Agribisnis Di Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong.

Soeharsono, 2002. Anthrax Sporadik, Tak Perlu Panik. Dalam kompas, 12 September 2002, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/iptek/anth29.htm

PROSPEK PETERNAKAN DIMASA DEPAN



BAB I
PENDAHULUAN
  

1.1  Latar Belakang

Manusia memerlukan bahan pangan untuk menunjang kelangsungan hidupnya sehari-hari. Bahan pangan yang diperlukan oleh manusia tersebut dapat bermanfaat untuk membangun sel-sel tubuh dan menjaga tubuh agar tetap sehat, aktif dan produktif. Karena bahan pangan merupakan bahan yang mengandung sumber karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin serta dapat membuat manusia tumbuh dan berkembang, mampu beraktivitas dan memelihara kondisi tubuh. Sumber pangan tersebut dapat berasal dari hewani yang terdapat pada bidang peternakan. Oleh karena itu, pembangunan peternakan semakin nyata dan berorientasi pada manusia dimana pembangunan peternakan meletakkan peternak sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai obyek untuk mencapai tujuan nasional, karena permintaan dunia terhadap sumber pangan hewani (daging, susu, dan telur) diprediksikan akan meningkat selama periode tahun 2005-2020 mendatang khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia termasuk negara sedang berkembang, dengan jumlah penduduk sekitar 212  juta jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun. Dari jumlah penduduk tersebut tentunya membutuhkan pangan hewani yang cukup besar dan di proyeksikan meningkat sangat cepat dimasa mendatang. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani juga ikut mendorong meningkatnya permintaan terhadap pangan hewani.
 Untuk memenuhi permintaan tersebut, produksi ternak domestik belum mampu untuk mencukupi permintaan, sehingga impor ternak harus dipenuhi. Tanpa impor, akan terjadi pengurasan ternak lokal atau konsumsi protein hewani dapat menurun secara terus menerus, sehingga tuntutan akan pembangunan peternakan untuk memenuhi permintaan produk peternakan yang sangat cepat dan kondisi nyata kinerja pembangunan peternakan yang belum optimal, perlu ditingkatkan dengan menggunakan strategi dan kebijakan yang komprehensif, sistematik, terintegrasi, berdaya saing, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Apabila strategi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, pada akhirnya kecukupan pangan (protein hewani) yang mempunyai fungsi dapat menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, agribisnis berbasis peternakan yang merupakan salah satu pembangunan sosial ekonomi, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya peternakan yang seimbang merupakan awal dari pengembangan peternakan di masa mendatang.

1.2  Permasalahan
            Peternakan tidak henti-hentinya mendapatkan masalah, diantaranya munculnya penyakit flu burung, anthrax, penyelundupan Meat Bone Meal (MBL) dan daging, serta semakin meningkatnya harga-harga jagung dan kedelai di pasar Internasional yang menjadi bahan baku pakan. Masalah-masalah tersebut dapat mengganggu kinerja sub sektor peternakan. Maka dari itu permasalah ini adalah bagaimana cara untuk mengatasi Supply-demand produk hasil ternak, bagaimana peluang bidang peternakan di Indonesia, peluang dan tantangan peternakan di Indonesia, serta tantangan masa depan pembangunan peternakan.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1   Supply-demand Produk Hasil Ternak
            Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237,6 juta jiwa. Dengan prediksi laju pertambahan penduduk rata-rata 1,49% per tahun maka tahun 2030 atau dua puluh tahun lagi, jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa (BPS, 2010). Negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 dunia merupakan pasar luar biasa besar bagi produk pangan dan turunannya. Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian, perbaikan tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat, konsumsi protein hewani juga akan meningkat. Diperkirakan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia pada tahun 2030 untuk daging 15 kg/kapita/tahun (1 potong beef steak atau 1 porsi sate 6 tusuk, setiap 3 hari sekali), telur 6 kg/kapita/tahun (1 butir telur ayam/3 hari) dan susu 12 liter/kapita/ tahun (1 gelas susu/3 hari). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan ketersediaan 4,5 juta ton daging, 1,8 juta ton telur dan 3,6 juta ton susu. Mengacu pada produksi dalam negeri saat ini (Statistik Peternakan, 2010) dan tren permintaan yang semakin meningkat, diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan 2,9 juta ton daging, 0,5 juta ton telur dan 2,72 juta ton susu. Kekurangan ketersediaan pangan hewani asal ternak menjadi peluang sekaligus tantangan yang tidak ringan bagi pembangunan peternakan Indonesia masa depan.

2.2  Peluang Bidang Peternakan di Indonesia
                Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 273,7 juta jiwa. Demikian dikatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas saat menyebutkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2000-2025 (Kompas, 3/8/2005). Dengan jumlah penduduk sebesar itu Indonesia merupakan pasar yang luar biasa besar. Namun sayangnya, kita masih sangat tergantung pada bahan impor. Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 450 ribu ekor dari Australia. Setiap tahun negara agraris ini mengimpor 1 juta ton bungkil kedele, 1,2 juta ton jagung, 30 ribu ton tepung telur dan 140 ribu ton susu bubuk. Importasi bahan pangan tersebut menguras devisa negara cukup besar.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat negara di dunia, Indonesia termasuk pasar potensial bagi negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Han, 1999). Peningkatan konsumsi protein hewani dapat dipacu dengan meningkatkan pendapatan rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat. Untuk memicu pertumbuhan subsektor peternakan masih dijumpai beberapa permasalahan. Pada industri unggas penyediaan bibit dan pakan masih tergantung impor. Pada industri ruminansia besar, sumber bibit yang menghandalkan usaha peternakan rakyat tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat, dan industri pakannya belum diusahakan dengan baik. Terbatasnya infrastruktur dan perdagangan ternak hidup tanpa kendali berpeluang penyebaran penyakit dan tidak terjaminnya kualitas dan keamanan produk. Dari sisi konsumsi, terjadi senjang penawaran dan permintaan, khususnya pada daging sapi sehingga harus dipenuhi dari impor. Di sisi lain, kapasitas produksi ayam ras masih mampu ditingkatkan lagi, hanya permintaannya sangat tergantung pada daya beli konsumen, kualitas gizi dan keamanan produk. Semuanya itu merupakan peluang yang harus dimanfaatkan. Untuk mengatasi permasalahan diperlukan strategi pembangunan yang fokus pada sasaran yang tepat. Fokus sasaran meliputi komoditas dan wilayah yang akan dikembangkan.
Kebutuhana konsumen terhadap produk peternakan sangat tinggi terutama daging sapi, ini dapat dilihat dari kebutuhan akan produk peternakan jika dilihat dari pangsa konsumsi, sekitar 48,3% daging yang dikonsumsi adalah daging unggas, 26,1% daging sapi, dan sisanya terdiri dari daging jenis ternak lain. Ini berarti selera konsumen terhadap daging sapi cukup potensial. Dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, diperkirakan konsumsi daging sapi akan meningkat dari 1,9 kg/kapita/tahun menjadi 2,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pola Pangan Harapan, seharusnya konsumsi daging masyarakat Indonesia sebanyak 10,1 kg/kapita/tahun. Ini berarti dari sisi permintaan masih cukup potensial untuk ditingkatkan. Peningkatan permintaan terhadap produk peternakan membuka peluang bagi pengembangan usaha peternakan lokal dengan skala agribisnis melalui pola kemitraan. Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa secara simultan dalam suatu kluster industri yang mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agrisbisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Kemitraan merupakan kegiatan kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari tingkat praproduksi, produksi hingga pemasaran, yang dilandasi azas saling membutuhkan dan menguntungkan di antara pihak-pihak yang bekerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani-peternak untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat. Untuk meningkatkan peran hasil ternak sebagai sumber pemasok bahan pangan hewani dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi khususnya dilakukan pada sapi potong yakni dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up. Peningkatan minat dan motivasi peternak untuk mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian insentif dalam berproduksi.

2.3   Peluang dan Tantangan Peternakan di Indonesia
            Pembangunan peternakan merupakan bagian pembangunan nasional yang sangat penting, karena salah satu tujuan pembangunan peternakan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang unggul. Selain itu, tujuan pembangunan peternakan adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak, pelesatarian lingkungan hidup serta peningkatan devisa negara. Kondisi peternakan di Indonesia telah mengalami pasang surut. Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997, telah membawa dampak terpuruknya perekonomian nasional, yang diikuti penurunan beberapa usaha peternakan. Namun, dampak krisis secara bertahap telah pulih kembali dan mulai tahun 1998-1999 pembangunan peternakan telah menunjukkan peningkatan. Kontribusi peternakan terhadap PDB pertanian terus meningkat sebesar 6,35% pada tahun 1999. Bahkan tahun 2002 meningkat mencapai 9,4% tertinggi diantara sub sektor pertanian.
Peran strategis peternakan juga berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah menetapkan tiga sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni; menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu.Namun pembangunan peternakan tidak terlepas dari berbagai masalah dan tantangan. Globalisasi ekonomi merupakan salah satu ancaman dan sekaligus peluang bagi sektor peternakan. Menjadi ancaman jika Indonesia tetap menjadi importir input dan teknologi peternakan untuk menggerakkan proses produksi dalam negeri dan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri. Ketergantungan pada impor jika tidak ditunjang oleh usaha-usaha kemandirian yang produktif, akan mendorong ketergantungan semakin sulit dipecahkan. Indonesia mempunyai peluang untuk mengisi pangsa pasar dunia karena Indonesia dianggap sebagai negara produsen yang aman karena produk ternak yang masih murni dan bebas dari penyakit mulut dan kuku. Berdasarkan Statistik Peternakan 2005 ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 17% per tahun. Dunia Islam juga mengharapkan Indonesia sebagai eksportir ternak yang sesuai dengan hukum Islam.
Dalam sisi dalam negeri yang menjadi penghambat tumbuhnya sektor peternakan, antara lain:
1. Struktur industri peternakan sebagian besar tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Yang dicirikan oleh tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvesional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran usaha relatif kecil, serta pengadaan input utama yakni HMT (Hijauan Makanan Ternak) yang masih tergantung pada musim, ketersediaan tenaga keluarga, serta penguasaan lahan HMT yang terbatas.
2. Ketersedian bibit bermutu. Penelitian tentang pembibitan telah banyak dilakukan namun belum tersosialisasikan dalam skala besar. Terjadi kegagalan komunikasi baik Badan Litbang maupun Perguruan Tinggi. Selain itu, peternak tidak mempunyai insentif dalam mengadopsi teknologi baru yang disertai peningkatan biaya.
3. Masalah agroindustri peternakan yang belum mampu menggerakkan sektor peternakan. Misalnya, industri pengolahan susu, sebgaian besar menggunakan input dari negara asal. Industri perhotelan membutuhkan daging dari impor.
4. Derasnya impor illegal produk-produk peternakan
5. Bencana penyakit (mewabahnya virus flu burung dan antraks)
6. Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku pakan
Peluang sektor pertanian di masa yang akan datang sangat besar karena permintaan hasil ternak yang terus bertambah akibat pertambahan jumlah penduduk. Berikut ini data konsumsi ternak nasional tahun 2002-2005 (kg/kapita/tahun)
No
Uraian
2002
2003
2004
2005
1
Daging
5.75
5.96
6.17
7.11
2
Telur
4.04
4.11
4.38
4.71
3
Susu
7.05
6.69
6.78
6.80






Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa permintaan akan konsumsi ternak terus meningkat. Konsumsi daging meningkat dari 5,75 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 7,11 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. FAO sejak tahun 1999 juga sudah memprediksi akan terjadinya perubahan signifikan pada sektor peternakan dunia. Ketika konsumsi daging dunia meningkat 2,9%, maka di negara-negara berkembang sudah melaju sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara mencapai 5,6%. Sementara di negara-negara maju hanya meningkat 1%. Sampai tahun 2020 diperkirakan pertumbuhan konsumsi daging negara-negara berkembang rata-rata 2,8% per tahun, sementara di negara-negara maju hanya 0,6% per tahun. Dengan segala keterbatasan peternak, perlu dikembangkan sebuah sistem peternakan yang berwawasan ekologis, ekonomis, dan berkesinambungan. Yaitu dengan mengembangkan peternakan industri dan peternakan rakyat yang dapat mewujudkan ketahanan pangan dan mengantaskan kemiskinan.

2.4  Tantangan Masa Depan Pembangunan Peternakan
            Dalam usaha peternakan, pakan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi efisiensi dan kesuksesan usaha. Pakan menentukan kualitas produk peternakan, produktivitas ternak dan keuntungan pengusahaan ternak. Program pembangunan peternakan termasuk upaya swasembada daging sapi 2014 tidak akan tercapai apabila tidak didukung pemenuhan kebutuhan pakan yang cukup ketersediaannya baik jumlah maupun mutu-nya. Pengembangan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) menghadapi persoalan fluktuasi ketersediaan pakan hijauan, sedangkan ternak unggas dihadapkan pada ketergantungan impor bahan baku pakan karena tidak tersedianya produksi dalam negeri. Ternak ruminansia semakin hari semakin rawan kekurangan suplai hijauan akibat semakin sempit bahkan hilangnya padang penggembalaan (pasture), tergusur oleh kepentingan ekonomi lain yang lebih prospektif. Akhirnya sumber pakan utama ternak ruminansia hanya mengandalkan limbah pertanian (jerami padi, tebon jagung, pucuk, tebu, dsb.) yang kualitas nutrisinya rendah dicirikan oleh rendahnya tingkat kecernaan, kadar protein kasar, dan kadar
karbohidrat non struktural, serta tingginya kadar serat utamanya lignoselulosa. Sekedar contoh, ketika musim kemarau tiba, ratusan truk membawa jerami ke kabupaten Gunungkidul untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi, meskipun peternak harus merelakan menjual pedhet (anak sapi) atau kambing/domba untuk dibelikan jerami padi sebagai pakan sapi. Jadi di kabupaten Gunungkidul saat musim kemarau tiba terdapat istilah sapi ‘makan’ pedhet atau sapi ‘makan’ kambing. Demikian pula dengan pakan konsentrat sapi, mayoritas bahan yang dipergunakan berasal dari limbah pertanian dan limbah industri dengan kualitas nutrisi yang rendah yang dapat  mengakibatkan relatif rendahnya kinerja produksi dan reproduksi ternak (Knop dan Cernescu, 2009). Inilah tantangan riil yang harus diatasi untuk mencapai swasembada daging sapi. Disamping persoalan suplai dan distribusi pakan, kita juga dihadapkan pada persoalan mutu dan keamanan pakan. Pakan yang aman dari berbagai cemaran akan menentukan kualitas pangan dari hasil ternak yang sehat bagi konsumen (Kan dan Meijer, 2007). Cemaran dan toksikan yang sering ditemukan pada pakan antara lain : mikotoksin, dioxin, melamin, logam berat, pestisida, obat hewan dan aditif (antibiotik, hormon, dsb.), mikroorganisme pathogen/infectious agents (Salmonella enterica, Bacillus anthracis, Toxoplasma gondii, Trichinella spiralis, Bovine Spongiform Encephalopathy) dan
polyciclic aromatic hydrocarbons (Kan dan Meijer, 2007). Di Indonesia, penelitian terkait cemaran dan toksikan pakan (feed safety) dan dampaknya terhadap kinerja produksi ternak dan keamanan pangan (food safety) relatif belum banyak dieksplorasi dan belum mendapatkan perhatian serius. Diantara cemaran dan toksikan yang relatif memperoleh perhatian adalah mikotoksin. Untuk turut serta mengembangkan penelitian mikotoksin di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terbentuk Mycotoxin Research Group di UGM yang bernaung dibawah Laboratorium Ilmu Hayati, sekarang LPPT. Berkat kerjasama dengan ASEA-UNINET (Asean-European Academic University Network), kelompok riset ini memperoleh dukungan penelitian. Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) Mycotoxin Research Group UGM menghasilkan 25 scientific papers, 5 diantaranya dipublikasikan di jurnal internasional, 17 paper dipresentasikan pada forum seminar internasional dan 3 paper pada forum seminar nasional.


BAB III
PENUTUP

  
3.1  Kesimpulan
                Mengingat  pentingnya protein hewani yang berasal dari ternak seperti daging, susu, dan telur bagi manusia, maka konsumsi produk ternak seharusnya dapat dipacu menuju tingkat konsumsi yang ideal. Hal ini dikarenakan sub sektor peternakan mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, ini terlihat dari jumlah permintaan produk peternakan seperti daging, susu, dan telur yang terus meningkat. Selain itu, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka membuka peluang usaha potensial yang berkaitan dengan penyediaan pangan hewani, karena bertambahnya jumlah penduduk, maka bertambah pula permintaan produk hewani seperti daging, telur dan susu. Protein hewani yang berasal dari ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh. Karena itu, langkah untuk mengurangi konsumsi daging dan telur bukanlah langkah bijak untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, produktif, dan sehat. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah peranan ternak dan produk peternakan yang dihasilkan oleh ternak tersebut sebagai sumber pendapatan dan sumber lapangan kerja yang efektif dalam memberantas kemiskinan di daerah pedesaan.


DAFTAR PUSTAKA


Artikel Ekonomi Nusantara, edisi jum’at 08 Mei 2009. ( Konsumsi Daging di Indonesia  Rendah) / (cha/JPNN).

Kompas, 2009. Swasembada Daging Sapi 2014. 09 November 2009. http://m.kompas.com.  November 2009
mgb.ugm.ac.id/media/download/pidato-pengukuhan.html?
Susilorini, Tri Eko. et al,.2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.