BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Manusia memerlukan bahan pangan untuk menunjang kelangsungan hidupnya
sehari-hari. Bahan pangan yang diperlukan oleh manusia tersebut dapat
bermanfaat untuk membangun sel-sel tubuh dan menjaga tubuh agar tetap sehat,
aktif dan produktif. Karena bahan pangan merupakan bahan yang mengandung sumber
karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin serta dapat membuat manusia
tumbuh dan berkembang, mampu beraktivitas dan memelihara kondisi tubuh. Sumber
pangan tersebut dapat berasal dari hewani yang terdapat pada bidang peternakan.
Oleh karena itu, pembangunan peternakan semakin nyata dan berorientasi pada
manusia dimana pembangunan peternakan meletakkan peternak sebagai subyek, bukan
semata-mata sebagai obyek untuk mencapai tujuan nasional, karena permintaan
dunia terhadap sumber pangan hewani (daging, susu, dan telur) diprediksikan
akan meningkat selama periode tahun 2005-2020 mendatang khususnya di
negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia termasuk negara sedang
berkembang, dengan jumlah penduduk sekitar 212
juta jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun. Dari jumlah
penduduk tersebut tentunya membutuhkan pangan hewani yang cukup besar dan di
proyeksikan meningkat sangat cepat dimasa mendatang. Peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani juga ikut
mendorong meningkatnya permintaan terhadap pangan hewani.
Untuk memenuhi permintaan
tersebut, produksi ternak domestik belum mampu untuk mencukupi permintaan,
sehingga impor ternak harus dipenuhi. Tanpa impor, akan terjadi pengurasan
ternak lokal atau konsumsi protein hewani dapat menurun secara terus menerus,
sehingga tuntutan akan pembangunan peternakan untuk memenuhi permintaan produk
peternakan yang sangat cepat dan kondisi nyata kinerja pembangunan peternakan
yang belum optimal, perlu ditingkatkan dengan menggunakan strategi dan
kebijakan yang komprehensif, sistematik, terintegrasi, berdaya saing,
berkelanjutan dan terdesentralisasi. Apabila strategi tersebut dapat
dimanfaatkan dengan baik, pada akhirnya kecukupan pangan (protein hewani) yang
mempunyai fungsi dapat menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
agribisnis berbasis peternakan yang merupakan salah satu pembangunan sosial
ekonomi, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya peternakan yang seimbang
merupakan awal dari pengembangan peternakan di masa mendatang.
1.2 Permasalahan
Peternakan tidak henti-hentinya
mendapatkan masalah, diantaranya munculnya penyakit flu burung, anthrax,
penyelundupan Meat Bone Meal (MBL) dan daging, serta semakin meningkatnya
harga-harga jagung dan kedelai di pasar Internasional yang menjadi bahan baku
pakan. Masalah-masalah tersebut dapat mengganggu kinerja sub sektor peternakan.
Maka dari itu permasalah ini adalah bagaimana cara untuk mengatasi Supply-demand produk hasil ternak, bagaimana peluang bidang peternakan
di Indonesia, peluang dan tantangan peternakan di Indonesia, serta tantangan masa depan pembangunan peternakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Supply-demand Produk Hasil Ternak
Menurut Badan Pusat Statistik,
jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237,6 juta jiwa. Dengan prediksi
laju pertambahan penduduk rata-rata 1,49% per tahun maka tahun 2030 atau dua
puluh tahun lagi, jumlah penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa (BPS, 2010).
Negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 dunia merupakan pasar luar biasa
besar bagi produk pangan dan turunannya. Seiring dengan membaiknya kondisi
perekonomian, perbaikan tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat, konsumsi
protein hewani juga akan meningkat. Diperkirakan konsumsi protein hewani
masyarakat Indonesia pada tahun 2030 untuk daging 15 kg/kapita/tahun (1 potong beef
steak atau 1 porsi sate 6 tusuk, setiap 3 hari sekali), telur 6
kg/kapita/tahun (1 butir telur ayam/3 hari) dan susu 12 liter/kapita/ tahun (1
gelas susu/3 hari). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan ketersediaan
4,5 juta ton daging, 1,8 juta ton telur dan 3,6 juta ton susu. Mengacu pada
produksi dalam negeri saat ini (Statistik Peternakan, 2010) dan tren permintaan
yang semakin meningkat, diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan 2,9 juta
ton daging, 0,5 juta ton telur dan 2,72 juta ton susu. Kekurangan ketersediaan
pangan hewani asal ternak menjadi peluang sekaligus tantangan yang tidak ringan
bagi pembangunan peternakan Indonesia masa depan.
2.2 Peluang Bidang Peternakan di Indonesia
Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 273,7 juta jiwa.
Demikian dikatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas saat
menyebutkan proyeksi penduduk Indonesia tahun 2000-2025 (Kompas, 3/8/2005).
Dengan jumlah penduduk sebesar itu Indonesia merupakan pasar yang luar biasa
besar. Namun sayangnya, kita masih sangat tergantung pada bahan impor. Setiap tahun
Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 450 ribu ekor dari Australia. Setiap
tahun negara agraris ini mengimpor 1 juta ton bungkil kedele, 1,2 juta ton
jagung, 30 ribu ton tepung telur dan 140 ribu ton susu bubuk. Importasi bahan
pangan tersebut menguras devisa negara cukup besar.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat negara di dunia, Indonesia termasuk pasar potensial bagi negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Han, 1999). Peningkatan konsumsi protein hewani dapat dipacu dengan meningkatkan pendapatan rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat. Untuk memicu pertumbuhan subsektor peternakan masih dijumpai beberapa permasalahan. Pada industri unggas penyediaan bibit dan pakan masih tergantung impor. Pada industri ruminansia besar, sumber bibit yang menghandalkan usaha peternakan rakyat tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat, dan industri pakannya belum diusahakan dengan baik. Terbatasnya infrastruktur dan perdagangan ternak hidup tanpa kendali berpeluang penyebaran penyakit dan tidak terjaminnya kualitas dan keamanan produk. Dari sisi konsumsi, terjadi senjang penawaran dan permintaan, khususnya pada daging sapi sehingga harus dipenuhi dari impor. Di sisi lain, kapasitas produksi ayam ras masih mampu ditingkatkan lagi, hanya permintaannya sangat tergantung pada daya beli konsumen, kualitas gizi dan keamanan produk. Semuanya itu merupakan peluang yang harus dimanfaatkan. Untuk mengatasi permasalahan diperlukan strategi pembangunan yang fokus pada sasaran yang tepat. Fokus sasaran meliputi komoditas dan wilayah yang akan dikembangkan.
Kebutuhana konsumen terhadap produk peternakan sangat tinggi terutama daging sapi, ini dapat dilihat dari kebutuhan akan produk peternakan jika dilihat dari pangsa konsumsi, sekitar 48,3% daging yang dikonsumsi adalah daging unggas, 26,1% daging sapi, dan sisanya terdiri dari daging jenis ternak lain. Ini berarti selera konsumen terhadap daging sapi cukup potensial. Dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, diperkirakan konsumsi daging sapi akan meningkat dari 1,9 kg/kapita/tahun menjadi 2,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pola Pangan Harapan, seharusnya konsumsi daging masyarakat Indonesia sebanyak 10,1 kg/kapita/tahun. Ini berarti dari sisi permintaan masih cukup potensial untuk ditingkatkan. Peningkatan permintaan terhadap produk peternakan membuka peluang bagi pengembangan usaha peternakan lokal dengan skala agribisnis melalui pola kemitraan. Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa secara simultan dalam suatu kluster industri yang mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agrisbisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Kemitraan merupakan kegiatan kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari tingkat praproduksi, produksi hingga pemasaran, yang dilandasi azas saling membutuhkan dan menguntungkan di antara pihak-pihak yang bekerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani-peternak untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat. Untuk meningkatkan peran hasil ternak sebagai sumber pemasok bahan pangan hewani dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi khususnya dilakukan pada sapi potong yakni dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up. Peningkatan minat dan motivasi peternak untuk mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian insentif dalam berproduksi.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat negara di dunia, Indonesia termasuk pasar potensial bagi negara-negara lain. Produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi produk peternakan. Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Saat ini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Han, 1999). Peningkatan konsumsi protein hewani dapat dipacu dengan meningkatkan pendapatan rumahtangga dan kesadaran gizi masyarakat. Untuk memicu pertumbuhan subsektor peternakan masih dijumpai beberapa permasalahan. Pada industri unggas penyediaan bibit dan pakan masih tergantung impor. Pada industri ruminansia besar, sumber bibit yang menghandalkan usaha peternakan rakyat tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat, dan industri pakannya belum diusahakan dengan baik. Terbatasnya infrastruktur dan perdagangan ternak hidup tanpa kendali berpeluang penyebaran penyakit dan tidak terjaminnya kualitas dan keamanan produk. Dari sisi konsumsi, terjadi senjang penawaran dan permintaan, khususnya pada daging sapi sehingga harus dipenuhi dari impor. Di sisi lain, kapasitas produksi ayam ras masih mampu ditingkatkan lagi, hanya permintaannya sangat tergantung pada daya beli konsumen, kualitas gizi dan keamanan produk. Semuanya itu merupakan peluang yang harus dimanfaatkan. Untuk mengatasi permasalahan diperlukan strategi pembangunan yang fokus pada sasaran yang tepat. Fokus sasaran meliputi komoditas dan wilayah yang akan dikembangkan.
Kebutuhana konsumen terhadap produk peternakan sangat tinggi terutama daging sapi, ini dapat dilihat dari kebutuhan akan produk peternakan jika dilihat dari pangsa konsumsi, sekitar 48,3% daging yang dikonsumsi adalah daging unggas, 26,1% daging sapi, dan sisanya terdiri dari daging jenis ternak lain. Ini berarti selera konsumen terhadap daging sapi cukup potensial. Dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, diperkirakan konsumsi daging sapi akan meningkat dari 1,9 kg/kapita/tahun menjadi 2,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2005. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pola Pangan Harapan, seharusnya konsumsi daging masyarakat Indonesia sebanyak 10,1 kg/kapita/tahun. Ini berarti dari sisi permintaan masih cukup potensial untuk ditingkatkan. Peningkatan permintaan terhadap produk peternakan membuka peluang bagi pengembangan usaha peternakan lokal dengan skala agribisnis melalui pola kemitraan. Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa secara simultan dalam suatu kluster industri yang mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agrisbisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Kemitraan merupakan kegiatan kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari tingkat praproduksi, produksi hingga pemasaran, yang dilandasi azas saling membutuhkan dan menguntungkan di antara pihak-pihak yang bekerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani-peternak untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat. Untuk meningkatkan peran hasil ternak sebagai sumber pemasok bahan pangan hewani dan pendapatan peternak, disarankan untuk menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif dengan perbaikan manajemen pakan, peningkatan kualitas bibit yang disertai pengontrolan terhadap penyakit. Perbaikan reproduksi khususnya dilakukan pada sapi potong yakni dengan IB dan penyapihan dini pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up. Peningkatan minat dan motivasi peternak untuk mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian insentif dalam berproduksi.
2.3 Peluang dan Tantangan Peternakan di
Indonesia
Pembangunan peternakan merupakan
bagian pembangunan nasional yang sangat penting, karena salah satu tujuan
pembangunan peternakan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang
unggul. Selain itu, tujuan pembangunan peternakan adalah meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan peternak, pelesatarian lingkungan hidup serta peningkatan
devisa negara. Kondisi peternakan di Indonesia telah mengalami pasang surut.
Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997, telah membawa dampak
terpuruknya perekonomian nasional, yang diikuti penurunan beberapa usaha
peternakan. Namun, dampak krisis secara bertahap telah pulih kembali dan mulai
tahun 1998-1999 pembangunan peternakan telah menunjukkan peningkatan.
Kontribusi peternakan terhadap PDB pertanian terus meningkat sebesar 6,35% pada
tahun 1999. Bahkan tahun 2002 meningkat mencapai 9,4% tertinggi diantara sub
sektor pertanian.
Peran strategis peternakan juga berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah menetapkan tiga sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni; menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu.Namun pembangunan peternakan tidak terlepas dari berbagai masalah dan tantangan. Globalisasi ekonomi merupakan salah satu ancaman dan sekaligus peluang bagi sektor peternakan. Menjadi ancaman jika Indonesia tetap menjadi importir input dan teknologi peternakan untuk menggerakkan proses produksi dalam negeri dan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri. Ketergantungan pada impor jika tidak ditunjang oleh usaha-usaha kemandirian yang produktif, akan mendorong ketergantungan semakin sulit dipecahkan. Indonesia mempunyai peluang untuk mengisi pangsa pasar dunia karena Indonesia dianggap sebagai negara produsen yang aman karena produk ternak yang masih murni dan bebas dari penyakit mulut dan kuku. Berdasarkan Statistik Peternakan 2005 ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 17% per tahun. Dunia Islam juga mengharapkan Indonesia sebagai eksportir ternak yang sesuai dengan hukum Islam.
Peran strategis peternakan juga berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah menetapkan tiga sasaran utama program penanggulangan kemiskinan, yakni; menurunnya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau, dan terpenuhinya pelayanan kesehatan yang bermutu.Namun pembangunan peternakan tidak terlepas dari berbagai masalah dan tantangan. Globalisasi ekonomi merupakan salah satu ancaman dan sekaligus peluang bagi sektor peternakan. Menjadi ancaman jika Indonesia tetap menjadi importir input dan teknologi peternakan untuk menggerakkan proses produksi dalam negeri dan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri. Ketergantungan pada impor jika tidak ditunjang oleh usaha-usaha kemandirian yang produktif, akan mendorong ketergantungan semakin sulit dipecahkan. Indonesia mempunyai peluang untuk mengisi pangsa pasar dunia karena Indonesia dianggap sebagai negara produsen yang aman karena produk ternak yang masih murni dan bebas dari penyakit mulut dan kuku. Berdasarkan Statistik Peternakan 2005 ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 17% per tahun. Dunia Islam juga mengharapkan Indonesia sebagai eksportir ternak yang sesuai dengan hukum Islam.
Dalam sisi dalam negeri yang menjadi
penghambat tumbuhnya sektor peternakan, antara lain:
1. Struktur
industri peternakan sebagian besar tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat.
Yang dicirikan oleh tingkat pendidikan peternak rendah, pendapatan rendah,
penerapan manajemen dan teknologi konvesional, lokasi ternak menyebar luas,
ukuran usaha relatif kecil, serta pengadaan input utama yakni HMT
(Hijauan Makanan Ternak) yang masih tergantung pada musim, ketersediaan tenaga
keluarga, serta penguasaan lahan HMT yang terbatas.
2.
Ketersedian bibit bermutu. Penelitian tentang pembibitan telah banyak dilakukan
namun belum tersosialisasikan dalam skala besar. Terjadi kegagalan komunikasi
baik Badan Litbang maupun Perguruan Tinggi. Selain itu, peternak tidak
mempunyai insentif dalam mengadopsi teknologi baru yang disertai peningkatan
biaya.
3. Masalah agroindustri
peternakan yang belum mampu menggerakkan sektor peternakan. Misalnya,
industri pengolahan susu, sebgaian besar menggunakan input dari negara
asal. Industri perhotelan membutuhkan daging dari impor.
4. Derasnya
impor illegal produk-produk peternakan
5. Bencana
penyakit (mewabahnya virus flu burung dan antraks)
6.
Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku pakan
Peluang sektor pertanian di masa yang akan datang
sangat besar karena permintaan hasil ternak yang terus bertambah akibat
pertambahan jumlah penduduk. Berikut ini data konsumsi ternak nasional tahun
2002-2005 (kg/kapita/tahun)
No
|
Uraian
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
1
|
Daging
|
5.75
|
5.96
|
6.17
|
7.11
|
2
|
Telur
|
4.04
|
4.11
|
4.38
|
4.71
|
3
|
Susu
|
7.05
|
6.69
|
6.78
|
6.80
|
Berdasarkan data di atas menunjukkan
bahwa permintaan akan konsumsi ternak terus meningkat. Konsumsi daging
meningkat dari 5,75 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 7,11
kg/kapita/tahun pada tahun 2005. FAO sejak tahun 1999 juga sudah memprediksi
akan terjadinya perubahan signifikan pada sektor peternakan dunia. Ketika
konsumsi daging dunia meningkat 2,9%, maka di negara-negara berkembang sudah
melaju sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara mencapai 5,6%. Sementara di
negara-negara maju hanya meningkat 1%. Sampai tahun 2020 diperkirakan
pertumbuhan konsumsi daging negara-negara berkembang rata-rata 2,8% per tahun,
sementara di negara-negara maju hanya 0,6% per tahun. Dengan segala
keterbatasan peternak, perlu dikembangkan sebuah sistem peternakan yang
berwawasan ekologis, ekonomis, dan berkesinambungan. Yaitu dengan mengembangkan
peternakan industri dan peternakan rakyat yang dapat mewujudkan ketahanan
pangan dan mengantaskan kemiskinan.
2.4 Tantangan
Masa Depan Pembangunan Peternakan
Dalam usaha peternakan, pakan
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi efisiensi dan kesuksesan usaha.
Pakan menentukan kualitas produk peternakan, produktivitas ternak dan
keuntungan pengusahaan ternak. Program pembangunan peternakan termasuk upaya swasembada
daging sapi 2014 tidak akan tercapai apabila tidak didukung pemenuhan kebutuhan
pakan yang cukup ketersediaannya baik jumlah maupun mutu-nya.
Pengembangan ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) menghadapi
persoalan fluktuasi ketersediaan pakan hijauan, sedangkan ternak unggas
dihadapkan pada ketergantungan impor bahan baku pakan karena tidak tersedianya
produksi dalam negeri. Ternak ruminansia semakin hari semakin rawan kekurangan
suplai hijauan akibat semakin sempit bahkan hilangnya padang penggembalaan (pasture),
tergusur oleh kepentingan ekonomi lain yang lebih prospektif. Akhirnya sumber
pakan utama ternak ruminansia hanya mengandalkan limbah pertanian (jerami padi,
tebon jagung, pucuk, tebu, dsb.) yang kualitas nutrisinya rendah dicirikan oleh
rendahnya tingkat kecernaan, kadar protein kasar, dan kadar
karbohidrat
non struktural, serta tingginya kadar serat utamanya lignoselulosa. Sekedar
contoh, ketika musim kemarau tiba, ratusan truk membawa jerami ke kabupaten
Gunungkidul untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi, meskipun peternak harus
merelakan menjual pedhet (anak sapi) atau kambing/domba untuk dibelikan jerami
padi sebagai pakan sapi. Jadi di kabupaten Gunungkidul saat musim kemarau tiba
terdapat istilah sapi ‘makan’ pedhet atau sapi ‘makan’ kambing. Demikian pula
dengan pakan konsentrat sapi, mayoritas bahan yang dipergunakan berasal dari
limbah pertanian dan limbah industri dengan kualitas nutrisi yang rendah yang
dapat mengakibatkan relatif rendahnya
kinerja produksi dan reproduksi ternak (Knop dan Cernescu, 2009). Inilah
tantangan riil yang harus diatasi untuk mencapai swasembada daging sapi.
Disamping persoalan suplai dan distribusi pakan, kita juga dihadapkan pada
persoalan mutu dan keamanan pakan. Pakan yang aman dari berbagai cemaran akan
menentukan kualitas pangan dari hasil ternak yang sehat bagi konsumen (Kan dan
Meijer, 2007). Cemaran dan toksikan yang sering ditemukan pada pakan antara
lain : mikotoksin, dioxin, melamin, logam berat, pestisida, obat hewan dan
aditif (antibiotik, hormon, dsb.), mikroorganisme pathogen/infectious agents
(Salmonella enterica, Bacillus anthracis, Toxoplasma
gondii, Trichinella spiralis, Bovine Spongiform Encephalopathy) dan
polyciclic
aromatic hydrocarbons (Kan dan Meijer, 2007). Di
Indonesia, penelitian terkait cemaran dan toksikan pakan (feed safety)
dan dampaknya terhadap kinerja produksi ternak dan keamanan pangan (food
safety) relatif belum banyak dieksplorasi dan belum mendapatkan perhatian
serius. Diantara cemaran dan toksikan yang relatif memperoleh perhatian adalah
mikotoksin. Untuk turut serta mengembangkan penelitian mikotoksin di Indonesia,
sejak tahun 1999 telah terbentuk Mycotoxin Research Group di UGM yang
bernaung dibawah Laboratorium Ilmu Hayati, sekarang LPPT. Berkat kerjasama dengan
ASEA-UNINET (Asean-European Academic University Network), kelompok riset
ini memperoleh dukungan penelitian. Selama kurun waktu 10 tahun (2000-2010) Mycotoxin
Research Group UGM menghasilkan 25 scientific papers, 5 diantaranya
dipublikasikan di jurnal internasional, 17 paper dipresentasikan pada forum
seminar internasional dan 3 paper pada forum seminar nasional.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Mengingat pentingnya protein hewani yang berasal
dari ternak seperti daging, susu, dan telur bagi manusia, maka konsumsi produk
ternak seharusnya dapat dipacu menuju tingkat konsumsi yang ideal. Hal ini
dikarenakan sub sektor peternakan mempunyai peluang yang sangat besar untuk
dikembangkan di Indonesia, ini terlihat dari jumlah permintaan produk
peternakan seperti daging, susu, dan telur yang terus meningkat. Selain itu,
dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, maka membuka peluang
usaha potensial yang berkaitan dengan penyediaan pangan hewani, karena
bertambahnya jumlah penduduk, maka bertambah pula permintaan produk hewani
seperti daging, telur dan susu. Protein hewani yang berasal dari ternak
memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh. Karena
itu, langkah untuk mengurangi konsumsi daging dan telur bukanlah langkah bijak
untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, produktif, dan
sehat. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah peranan ternak dan produk
peternakan yang dihasilkan oleh ternak tersebut sebagai sumber pendapatan dan
sumber lapangan kerja yang efektif dalam memberantas kemiskinan di daerah
pedesaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Artikel Ekonomi Nusantara, edisi jum’at 08 Mei 2009. ( Konsumsi Daging di Indonesia
Rendah) / (cha/JPNN).
http://wongbagoes.blogspot.com/2007/06/masa-depan-peternakan-indonesia.html(diakses
tanggal 29 Desember 2012)
mgb.ugm.ac.id/media/download/pidato-pengukuhan.html?
Susilorini, Tri Eko. et al,.2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar
Swadaya, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar